Minggu, 20 Maret 2011

Meluruskan Makna Ijtihad

Definisi Ijtihad
Secara literal, kata ijtihâd merupakan pecahan dari kata jâhada, yang artinya badzlu al-wus‘i (mencurahkan segenap kemampuan). (Ar-Razi, Mukhtâr ash-Shihâh, hlm.114). Ijtihad juga bermakna, “Istafrâgh al-wus‘i fî tahqîq amr min al-umûr mustalzim li al-kalafat wa al-musyaqqaq.” (mencurahkan seluruh kemampuan dalam men-tahqîq (meneliti dan mengkaji) suatu perkara yang meniscayakan adanya kesukaran dan kesulitan).
Di kalangan ulama ushul, ijtihad diistilahkan dengan, “istafrâgh al-wus‘î fî thalab adz-dzann bi syai’i min ahkâm asy-syar‘iyyah ‘alâ wajh min an-nafs al-‘ajzi ‘an al-mazîd fîh (mencurahkan seluruh kemampuan untuk menggali hukum-hukum syariat dari dalil-dalil dzanni hingga batas tidak ada lagi kemampuan melakukan usaha lebih dari apa yang telah dicurahkan.” (Al-Amidi, ibid., hlm. 309. Lihat juga: an-Nabhani, Asy-Syakhshiyyah al-Islâmiyyah, I/197).
Berdasarkan definisi di atas, kita bisa menyimpulkan, bahwa iijtihad adalah proses menggali hukum syariat dari dalil-dalil yang bersifat zhanni dengan mencurahkan segenap tenaga dan kemampuan hingga tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari itu. Dengan kata lain, suatu aktivitas diakui sebagai ijtihad jika memenuhi tiga poin berikut ini:
Pertama, ijtihad hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Artinya, ijtihad tidak berhubungan atau melibatkan dalil-dalil yang bersifat qath‘i, tetapi hanya melibatkan dalil-dalil yang bersifat zhanni. Atas dasar itu, ijtihad tidak berlaku pada perkara-perkara akidah maupun hukum-hukum syariat yang dalilnya qath‘i; misalnya wajibnya hukum potong tangan bagi pencuri, hukum razam/cambuk bagi pezina, hukum bunuh bagi orang-orang yang murtad, dan lain sebagainya.
Kedua, ijtihad adalah proses menggali hukum syariat, bukan proses untuk menggali hal-hal yang bisa dipahami oleh akal secara langsung (ma‘qûlât) maupun perkara-perkara yang bisa diindera (al-mahsûsât). Penelitian dan uji coba di dalam laboratorium hingga menghasilkan sebuah teorema maupun hipotesis tidak disebut dengan ijtihad.
Ketiga, ijtihad harus dilakukan dengan sungguh-sungguh dengan mengerahkan puncak tenaga dan kemampuan hingga taraf tidak mungkin lagi melakukan usaha lebih dari apa yang telah dilakukan. Seseorang tidak disebut sedang berijtihad jika ia hanya mencurahkan sebagian kemampuan dan tenaganya, padahal ia masih mampu melakukan upaya lebih dari yang telah ia lakukan.
Ijtihad berbeda dengan tarjîh maupun baths al-masâ’il. Tarjîh adalah aktivitas untuk meneliti, mengkaji, dan menetapkan mana pendapat yang paling râjih (kuat) di antara pendapat-pendapat yang ada. Baths al-masâ’il tidak berbeda dengan tarjîh, meskipun kadang-kadang juga dilakukan pembahasan-pembahasan hukum-hukum tertentu berdasarkan kaidah-kaidah ijtihad. Akan tetapi, aktivitas semacam ini dilakukan secara berkelompok, bukan individual. Padahal, ijtihad adalah aktivitas individual, bukan aktivitas kelompok.
Lingkup Ijtihad
Sebagaimana definisi ijtihad di atas, lingkup ijtihad hanya terbatas pada penggalian hukum syariat dari dalil-dalil dzanni. Ijtihad tidak boleh memasuki wilayah yang sudah pasti (qath‘i), maupun masalah-masalah yang bisa diindera dan dipahami secara langsung oleh akal.
Di dalam al-Quran ada ayat-ayat yang jelas penunjukkannya (qath‘i), ada pula yang penunjukkannya zhanni. Ijtihad tidak boleh dilakukan pada ayat-ayat yang jelas (qath‘i) maknanya, misalnya masalah-masalah akidah, kewajiban shalat lima waktu, zakat, puasa, haji, dan lain sebagainya. Perkara-perkara semacam ini bukanlah lingkup ijtihad. Sebab, masalah-masalah seperti ini sudah sangat jelas dan tidak boleh ada kesalahan di dalamnya. Siapa saja yang salah dalam mempersepsi perkara-perkara yang sudah qath‘i, maka ia telah terjatuh dalam dosa dan berhak mendapatkan azab Allah Swt. Sebaliknya, kesalahan dalam perkara-perkara ijtihadiah (zhanni) tidak akan menjatuhkan pelakunya dalam dosa dan maksiyat.
Ijtihad hanya terjadi dan berlaku pada wilayah furû‘ (cabang) dan zhanni. Perkara-perkara semacam ini disebut perkara ijtihadiah. Disebut demikian karena ia masih membuka ruang terjadinya perbedaan interpretasi. Adapun perkara yang melibatkan dalil qath‘i, tidak boleh disebut sebagai perkara ijtihadiah.
Haramnya memilih kepala negara yang berhaluan sekular dan tidak mendukung penerapan syariat Islam bukanlah perkara ijtihadiah. Sebab, kebatilan dan pertentangan sekularisme dengan Islam adalah perkara qath‘i. Kewajiban menerapkan syariat Islam dalam kehidupan masyarakat dan negara juga merupakan perkara yang pasti dan tidak boleh ada perselisihan. Kewajiban menegakkan kembali Khilafah Islamiyah juga merupakan perkara pasti yang tidak boleh ada perbedaan di kalangan Muslim.
Sayangnya, sebagian orang malah menolak penerapan syariat Islam dan penegakkan Khilafah Islamiah dengan dalih ijtihad dan ijtihadiah. Mereka menganggap bahwa perbedaan dalam masalah semacam ini masih dalam kategori boleh. Alasannya, masing-masing orang mempunyai ijtihad sendiri-sendiri dan sah-sah saja jika hasil ijtihadnya berbeda. Akibatnya, umat tidak bisa memilah mana pendapat yang telah menyimpang dari syariat Islam dan mana pendapat yang masih terkategori pendapat islami. Ketika disampaikan bahwa berhukum dengan aturan Allah merupakan kewajiban, dengan entengnya mereka menyatakan, “Itu kan ijtihad Anda? Kami mempunyai pendapat dan ijtihad sendiri dalam masalah ini. Jika kami berbeda dengan Anda, Anda tetap harus menghargai pendapat kami, dan tidak boleh menyalahkan kami. Bukankah salah dalam ijtihad tidak berdosa?”
Semua ini diakibatkan karena umat tidak lagi memahami lingkup ijtihad; mana yang terkategori perkara ijtihadiah dan mana yang bukan. Akhirnya, umat tidak bisa membedakan pendapat islami dan pendapat yang telah menyimpang dari akidah dan syariat Islam.
Syarat-syarat Mujtahid
Seseorang layak untuk berijtihad jika telah memenuhi syarat-syarat berikut ini:
Pertama, memahami dalil-dalil sam‘i (naqli) yang digunakan untuk membangun kaidah-kaidah hukum. Yang dimaksud dengan dalil sam‘i adalah al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma. Seorang mujtahid harus memahami al-Quran, as-Sunnah, dan Ijma berikut klasifikasi dan kedudukannya. Ia juga harus memiliki kemampuan untuk memahami, menimbang, mengkompromikan, serta men-tarjîh dalil-dalil tersebut jika terjadi pertentangan. Kemampuan untuk memahami dan dalil-dalil sam‘i dan menimbang dalil-dalil tersebut merupakan syarat pokok bagi seorang mujtahid.
Kedua, memahami arah penunjukkan dari suatu makna yang sejalan dengan pemahaman orang Arab dan dipakai oleh para ahli balâghah (retorika bahasa Arab).
Seorang mujtahid disyaratkan harus memiliki kemampuan bahasa yang mencakup kemampuan untuk memahami makna suatu kata, makna balâghah-nya, dalâlah-nya, pertentangan makna yang dikandung suatu kata, serta mana makna yang lebih kuat—setelah dibandingkan dengan riwayat tsiqqah dan perkataan ahli bahasa. Seorang mujtahid tidak cukup hanya mengerti dan menghapal arti sebuah kata berdasarkan pedoman kamus. Akan tetapi, ia harus memahami semua hal yang berkaitan dengan kata tersebut dari sisi kebahasaan.
Kesalahan Persepsi Seputar Ijtihad
Pertama, sebagian kaum Muslim memahami bahwa semua orang berhak dan layak melakukan ijtihad. Mereka berdalil bahwa setiap mukallaf dibekali Allah dengan akal yang sama dan setiap Mukmin wajib mengerti hukum syariat berdasarkan pemahamannya sendiri. Untuk itu, setiap orang berhak melakukan ijtihad meskipun ijtihadnya bisa jadi salah.
Mereka juga beralasan bahwa ijtihad harus tetap ada hingga Hari Kiamat untuk menjawab persoalan-persoalan baru yang terus berkembang. Untuk itu, jika setiap orang tidak diberi hak berijtihad, tentu akan terjadi stagnasi ijtihad. Padahal, stagnasi ijtihad tidak boleh terjadi di tengah-tengah masyarakat Islam.
Benar, setiap Muslim diperintahkan untuk terikat dengan aturan Allah Swt. Seseorang tidak mungkin bisa terikat dengan aturan Allah jika ia tidak mengerti hukum syariat. Padahal, jalan satu-satunya untuk menggali hukum adalah ijtihad. Oleh karena itu, adanya ijtihad merupakan kewajiban bagi kaum Muslim. Namun demikian, ijtihad—sebagaimana definisinya—adalah aktivitas yang sangat sulit dan berat. Ijtihad juga membutuhkan syarat-syarat yang tidak mudah. Hanya orang-orang yang memiliki kelayakan dan kemampuan saja yang berhak melakukan ijtihad. Orang-orang yang tidak memiliki kemampuan dan kelayakan tentu tidak akan mampu melakukan ijtihad sesuai dengan tuntunan Allah Swt. Jika ia memaksakan diri berijtihad, tentu saja hukum yang ia gali lebih banyak didasarkan pada hawa nafsunya, bukan didasarkan pada dalil-dalil syariat dan kaidah istinbâth yang benar. Padahal Allah Swt. melarang kaum Muslim berhukum berdasarkan hawa nafsunya. Allah Swt. berfirman:

وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ وَلاَ تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ
Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka dengan hukum-hukum yang telah diturunkan Allah dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka.
(QS al-Maidah [5]: 49)
Ijtihad memang harus dilakukan hingga akhir zaman untuk mejawab persoalan-persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa sebelumnya. Akan tetapi, ini tidak berarti semua orang memiliki hak untuk melakukan ijtihad dengan alasan agar ijtihad tidak mandeg. Syarat-syarat kelayakan untuk melakukan ijtihad tetap harus dipenuhi. Orang yang tidak memiliki kemampuan dan memenuhi syarat-syarat ijtihad dilarang melakukan ijtihad. Dengan kata lain, pintu ijtihad tertutup bagi orang yang tidak memenuhi syarat kelayakan ijtihad.
Kedua, dengan dalih ijtihad dan masalah ijtihadiah banyak orang yang akhirnya bersifat permissive terhadap keragaman pendapat. Padahal, tidak jarang perbedaan pendapat dalam masalah itu sudah menyangkut hal-hal yang bersifat qath‘i, bukan lagi zhanni. Contohnya perbedaan pendapat di kalangan kaum Muslim tentang sistem pemerintahan Islam. Ada sebagian kaum Muslim berpendapat bahwa penerapan Islam bisa diwujudkan dalam koridor sistem pemerintahan apapun, baik republik, kekaisaran, federasi, dan sebagainya. Sebagian yang lain berpendapat bahwa syariat Islam tidak harus diterapkan secara struktural dan formal, yang penting adalah substansi dan nilai-nilainya. Sebagian lagi berpendapat bahwa penerapan syariat Islam boleh dilakukan secara bertahap, bukan serentak. Perbedaan-perbedaan pendapat dalam hal semacam ini sesungguhnya adalah perbedaan pendapat yang dilarang dalam Islam. Sebab, masalah sistem pemerintahan di dalam Islam bukanlah termasuk masalah ijtihadiah. Nash-nash syariat yang sharîh (jelas) telah menyatakan bahwa sistem pemerintahan di dalam Islam adalah Khilafah Islamiyah, bukan sistem yang lain.
Ketiga, dengan alasan ijtihadiah juga sebagian kaum Muslim telah menutup diri dari pendapat lain. Dengan kata lain, mereka enggan untuk mencari dan mengkaji mana pendapat yang paling kuat dan benar berdasarkan prinsip quwwah ad-dalîl (kekuataan argumentasi). Dalam masalah furû‘, meskipun kaum Muslim diperbolehkan berbeda pendapat dan pandangan, mereka diperintahkan untuk mencari dan memilih pendapat yang paling râjih dan kuat. Seorang Muslim harus beramal dengan hukum yang dianggapnya paling benar dan kuat. Ia tidak boleh beramal dengan hukum yang dianggapnya salah dan lemah. Atas dasar itu, seorang Muslim tidak boleh menolak pendapat yang lebih kuat dan râjih. Bersikukuh pada pendapat yang sudah terbukti lemah dan ringkih adalah tindakan dosa yang dicela oleh Islam. Sebab, bolehnya kaum Muslim berbeda pendapat dalam masalah furû‘ tidak menafikan wajibnya mereka mencari dan memegang pendapat yang paling kuat dan râjih.
Wallâhu a‘lam

Selasa, 08 Maret 2011

IJTIHAD DAN TAQLID

mendengar hadits dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam
ada yang hanya meriwayatkan saja dan pemahamannya
terhadap kandungan hadits tersebut kurang dari pemahaman
orang yang mendengar darinya. Orang yang kedua ini dengan
kekuatan nalar dan pemahamannya memiliki kemampuan
untuk menggali dan mengeluarkan hukum-hukum dan
masalah-masalah (dinamakan Istinbath) yang terkandung di
dalam hadits tersebut. Dari sini diketahui bahwa sebagian
sahabat Nabi ada yang pemahamannya kurang dari para
murid dan orang yang mendengar hadits darinya. Pada lafazh
lain hadits ini:
ب حامل فقه إل من هو أفقه منه " " " فر
“Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang
lebih paham darinya”. Dua riwayat ini diriwayatkan oleh at-
Tirmidzi dan Ibnu Hibban.
Mujtahid dengan pengertian inilah yang dimaksud oleh
hadits Nabi shallallahu 'alayhi wasallam:
تهد فأخطأ فله أجر " )رواه تهد الاكم فأصاب فله أجران وإذا اج " إذا اج
البخاري(
Maknanya: “Apabila seorang Penguasa berijtihad dan benar maka
ia mendapatkan dua pahala dan bila salah maka ia mendapatkan satu
pahala”. (H.R. al Bukhari)
Dalam hadits ini disebutkan Penguasa ( الاكم ) secara
khusus karena ia lebih membutuhkan kepada aktivitas ijtihad
dari pada lainnya. Di kalangan para ulama salaf, terdapat para
mujtahid yang sekaligus penguasa, seperti para khalifah yang
enam; Abu Bakr, ‘Umar, ‘Utsman, ‘Ali, al Hasan ibn ‘Ali,
‘Umar ibn ‘Abdul ‘Aziz, Syuraih al Qadli dan lainnya.
Para ulama hadits yang menulis karya-karya dalam
Mushthalah al Hadits menyebutkan bahwa ahli fatwa dari
kalangan sahabat hanya kurang dari sepuluh, yaitu sekitar
enam menurut suatu pendapat. Sebagian ulama lain
berpendapat bahwa ada sekitar dua ratus sahabat yang
mencapati tingkatan Mujtahid dan ini pendapat yang lebih
sahih. Jika keadaan para sahabat saja demikian adanya maka
bagaimana mungkin setiap orang muslim yang bisa membaca
al Qur’an dan menelaah beberapa kitab berani berkata:
“Mereka (para mujtahid) adalah manusia dan kita juga manusia,
tidak seharusnya kita taqlid kepada mereka”. Padahal telah terbukti
dengan data yang valid bahwa kebanyakan ulama salaf bukan
mujtahid, mereka ikut (taqlid) kepada ahli ijtihad yang ada di
kalangan mereka. Dalam shahih al Bukhari diriwayatkan
bahwa seorang pekerja sewaan telah berbuat zina dengan isteri
majikannya. Lalu ayah pekerja tersebut bertanya tentang
hukuman atas anaknya, ada yang mengatakan: “Hukuman
atas anakmu adalah membayar seratus ekor kambing dan
(memerdekakan) seorang budak perempuan”. Kemudian sang
ayah kembali bertanya kepada ahli ilmu, jawab mereka:
“Hukuman atas anakmu dicambuk seratus kali dan diasingkan
satu tahun”. Akhirnya ia datang kepada Rasulullah shallallahu
5

Minggu, 06 Maret 2011

kitab ataudhiul adhila

                                                      KITAB ATAUDHIUL ADHILAH
                                                  karangan mualim syafei hadzami bin h.rohili
 @ harga 130.000 : 3 jilid (jilid 1, 2.3.)
  @ harga 250.000: 7 jilid (jilid 4,5,6,7)
hubungin : 02193580870 ( agung )
                  02192250147  
harga belum ongkos kirim / daerah...

A'zham Huquqillah 'Ala 'Ibaadihi (Hak Allah Yang Paling Agung Atas Para Hamba-Nya)

  Rasulullah shallallahu ‘alayhi wasallam bersabda:
          "حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا" (رواه الشيخان)
Maknanya: “Hak Allah atas para hamba adalah mereka beribadah kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatupun” (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Hadits ini menunjukkan bahwa hak Allah yang paling agung atas para hamba-Nya adalah agar mereka men-tauhid-kan-Nya; menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya (Syirik) dengan sesuatu-pun.
   Tauhid (التوحيد ) adalah mashdar dari وحد  يوحد   : mengesakan. Jika dikatakan وحدت الله maksudnya adalah اعتقدته منفردا بذاته وصفاته لا نظيـر له ولا شبيه    ; engkau meyakini bahwa Allah esa pada Dzat dan sifat-sifat-Nya, tidak ada bandingan dan serupa bagi-Nya atau علمتـه واحدا ; engkau mengetahui-Nya esa. Tauhid juga diartikan sebagai الإيمـان بالله وحـده لا شريك له ; beriman kepada Allah saja, tiada sekutu bagi-Nya dalam ketuhanan. Jadi beriman kepada Allah dengan cara yang benar itulah yang dinamakan tauhid. Karenanya pengajaran tentang beriman kepada Allah dengan cara yang benar menjadi prioritas Ta'lim Nabi shallallahu 'alayhi wasallam, sebagaimana dikatakan sahabat Ibn 'Umar dan sahabat Jundub:
"كُنَّا وَنَحْنُ فِتْيَانٌ حَزَاوِرَةٌ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلّمَ تَعَلّمْنَا الإيْمَانَ وَلَمْ نَتَعَلّمِ القرْءَانَ ثُمَّ تَعَلَّمْنَا القُرْءَانَ فَازْدَدْنَا بِهِ إيْمَانًا" (رَوَاهُ ابن ماجه وصححه الحافظ البُوْصِيْرِيّ)
Maknanya: “Kamiselagi remaja saat mendekati baligh- bersama Rasulullah mempelajari iman (tauhid) dan belum mepelajari al-Qur’an. Kemudian kami mempelajari al-Qur’an maka bertambahlah keimanan kami". (H.R. Ibnu Majah dan dishahihkan oleh al-Hafizh al-Bushiri).

Abu Hanifah menamakan ilmu ini dengan al-Fiqh al-Akbar. Ini artinya mempelajari ilmu ini harus lebih didahulukan dari mempelajari ilmu-ilmu lainnya. Setelah cukup mempelajari ilmu ini baru disusul dengan ilmu-ilmu yang lain.


Definisi Tauhid

            Al Hafizh Ibnu Hajar menyatakan:
          " وأما أهل السنة ففسروا التوحيد بنفي التشبيه والتعطيل ".
"Sedangkan Ahlussunnah menafsirkan bahwa tauhid adalah menafikan tasybih (keyakinan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) dan ta'thil (keyakinan yang menafikan adanya Allah atau salah satu sifat-Nya)".

Jadi tauhid dalam penafsiran Ahlussunnah adalah meyakini bahwa Allah ada dan memiliki sifat-sifat yang tidak menyerupai sifat-sifat makhluk-Nya, Allah esa pada Dzat, sifat dan perbuatan-Nya. Imam al Junaid al Baghdadi berkata:
          "التوحيد إفراد القديم من المحدث"  (رواه الخطيب البغدادي وغيـره)
Tauhid adalah mensucikan (Allah) yang tidak mempunyai permulaan dari menyerupai makhluk-Nya” (diriwayatkan oleh al Hafizh al Khathib al Baghdadi)

Dan inilah makna nama Allah al Ahad dan al Wahid. Al Imam al Halimi mengatakan : الأحد هو الذي لا شبيه له ولا نظيـر ، كما أن الواحد هو الذي لا شريك له ولا عديد ;     al Ahad ialah yang tiada serupa dan bandingan bagi-Nya, sebagaimana al Wahid maknanya adalah yang tiada sekutu bagi-Nya dan tiada  yang menduai –Nya (dalam ketuhanan). Imam Abu Hanifah berkata :
 "والله واحد لا من طريق العدد ولكن من طريق أنه لاشريك له".
"Allah satu bukan dari segi bilangan tetapi dari segi bahwa tidak ada sekutu bagi-Nya".

Al Ahad juga ditafsirkan yaitu yang tidak menerima pembagian, yakni bukan jisim karena secara akal jisim (benda) bisa dibagi-bagi, sedangkan Allah bukanlah jisim. Allah berfirman ketika mencela orang-orang kafir:
) وجعلوا له من عباده جزءا(  (سورة الزخرف : 15)
Maknanya: "Dan mereka (orang-orang kafir) menjadikan sebahagian dari hamba-hamba-Nya sebagai bahagian dari pada-Nya"   (Q.S. az-Zukhruf : 15)

al Imam  Abu Hasan al Asy'ari berkata dalam kitab an- Nawadir :
             " من اعتقد أن الله جسم فهو غير عارف بربه وإنه كافر به ".
"Barang siapa yang meyakini bahwa Allah adalah jisim maka dia tidak tahu tentang tuhannya dan sesungguhnya dia kafir terhadap-nya".

Ini semua adalah bantahan terhadap orang-orang yang membagi tauhid menjadi tiga macam; Tauhid Uluhiyyah,  Tauhid Rububiyyah dan Tauhid al Asma' wa ash-Shifat. Pembagian tauhid yang digagas oleh Ibnu Taimiyah dan diikuti oleh para pengikutnya ini menyalahi Aqidah Ahlussunnah Wal Jama’ah. Maksud dan tujuan dari pembagian ini adalah untuk mengkafirkan orang-orang mukmin yang bertawassul dengan para nabi dan orang-orang shalih, mengkafirkan orang-orang mukmin yang mentakwil ayat-ayat yang mengandung sifat-sifat Allah dan mengembalikan penafsirannya kepada ayat-ayat muhkamat. Ini berarti pengkafiran terhadap  Ahlussunnah Wal Jama’ah yang merupakan kelompok mayoritas di kalangan umat Muhammad

            Dikatakan kepada mereka : Siapakah di antara ulama' salaf yang membagi tauhid menjadi tiga ini ? Jawabannya: tidak ada. Apakah ummat Islam seluruhnya tidak memahami لا إله إلا الله  sebelum munculnya Ibnu Taimiyah !!! lalu apa komentar Ibnu Taimiyah dan para pengikutnya terhadap para sahabat, tabi'in dan para ulama salaf yang melakukan takwil terhadap ayat-ayat sifat !!!

            Terakhir, sebagian ulama Ahlussunnah mengatakan :
من أعطي الايمان ولم يعط الدّنيا فكأنّما ما منع شيئا ، ومن أعطي الدّنيا ولم يعط الايمان فكأنّما لم يعط شيئا
"Barang siapa diberi (oleh Allah) keimanan, dan ia tidak diberi dunia (harta benda) maka seolah-olah ia tidak tercegah untuk mendapatkan apapun (karena ia akan masuk surga dengan keimanannya tersebut). Dan barang siapa diberi dunia dan tidak diberi keimanan maka seolah-olah ia tidak diberi apapun (karena bila mati nanti ia akan meninggalkan harta bendanya tersebut dan akan masuk neraka serta kekal di dalamnya selamanya)".

KEHUJJAHAN IJMA’

Para ulama Ahlussunnah menyepakati bahwa ijma' (kesepakatan) para ahli ijtihad adalah perkara yang haqq, dan orang yang menyalahinya telah tersesat karena ummat Islam tidak akan bersepakat (bersatu) dalam kesesatan. Telah diriwayatkan dengan sahih bahwa sahabat Abu Mas'ud al Badri –semoga Allah meridlainya-  mengatakan :

          " إن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة "  (رواه الحافظ ابن حجر)
"Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat Muhammad di atas kesesatan" (H.R. Ibnu Hajar)

            Ibnu Majah meriwayatkan dari Anas ibn Malik bahwa ia berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"إن أمتي لا تجتمع على ضـلالة ، فإذا رأيتم اختلافا فعليكم بالسـواد الأعظم "
Maknanya: "Sesungguhnya ummatku tidak akan bersatu atas suatu kesesatan, jadi jika kalian melihat adanya perpecahan bergabunglah dengan jumlah yang mayoritas di antara mereka".

            At-Turmudzi juga meriwayatkan dari Ibnu Umar bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :
"إن الله لا يجمع أمتي" أو قال: "أمة محمد على ضلالة ، ويد الله مع الجماعة ، ومن شذ شذ إلى النار "
Maknanya : "Sesungguhnya Allah tidak akan mempersatukan ummat-Ku (atau beliau berkata Ummat Muhammad) di atas kesesatan, Allah senantiasa melindungi  al Jama'ah -kelompok mayoritas- dan barang siapa memisahkan diri (dari mayoritas) maka ia akan terpisah di neraka".

Hadits ini menunjukkan bahwa bersatu (berkumpul)-nya kaum muslimin adalah sesuatu yang menghasilkan kebenaran dan yang dimaksud dengan bersatu-nya kaum muslimin adalah ijma'-nya para ulama'.

            Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan dalam at-Talkhish al Habir : "Perkataan ar-Rafi'i : Dan ummat Muhammad terpelihara (maksum) dan tidak akan bersatu atas suatu kesesatan. Ini terdapat dalam hadits yang masyhur, memiliki banyak jalur (thariq) yang masing-masing tidak lepas dari kritik. Di antaranya jalur yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Abu Malik al Asy'ari bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:

" إن الله أجاركم من ثلاث خلال : أن لا يدعو عليكم نبيكم لتهلكوا جميعا ، وأن لا يظهر أهل الباطل على أهل الحق ، وأن لا يجتمعوا على ضلالة ".
Maknanya : "Sesungguhnya Allah melindungi (menyelamatkan) kalian dari tiga hal : bahwa Nabi kalian tidak akan mendoakan agar kalian musnah semuanya, ahlul bathil tidak akan pernah mengalahkan ahlul haqq dan kalian tidak akan bersatu di atas kesesatan".

Dalam sanad hadits ini terdapat inqitha' (keterputusan sanad).

At-Tirmidzi dan al Hakim juga meriwayatkan dari Ibnu Umar secara marfu' bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
          " لا تجتمع هذه الأمة على ضلال أبدا "
Maknanya : "Ummat ini tidak akan bersatu di atas kesesatan, selamanya".

Dalam hadits ini terdapat Sulaiman ibn Sufyan al Madani, seorang perawi yang dla'if. Al Hakim meriwayatkan beberapa syahid untuk hadits ini.

            Mungkin juga digunakan sebagai dalil untuk masalah ini hadits Mu'awiyah yang marfu' :
"لا يزال من أمتي أمة قائمة بأمر الله لا يضرهم من خذلهم ولا من خالفهم حتى يأتي أمر الله " أخرجه الشيخان
Maknanya : "Akan senantiasa ada di antara ummat ini golongan yang melaksanakan ajaran Allah dengan sempurna, tidak berbahaya bagi mereka orang yang tidak memperdulikan atau menyalahi mereka hingga tiba hari kiamat". (H.R. al Bukhari dan Muslim)

Dalil yang bisa diambil dari hadits ini bahwa dengan adanya kelompok ini yang melaksanakan semua perintah Allah dengan sempurna hingga tiba hari kiamat tidak akan terjadi kesepakatan di atas kesesatan.

            Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan dari Yasiir bin 'Amr, ia berkata : Kami mengantar Ibnu Mas'ud ketika pergi meninggalkan Madinah, Ibnu Mas'ud singgah sebentar di jalan menuju al Qadisiyyah lalu masuk kebun dan buang air, kemudian ia berwudlu' dan mengusap dua kaos kakinya kemudian keluar dan janggutnya masih menetes air darinya, lalu kami berkata kepadanya : Berilah pesan terpenting bagi kami, karena orang sudah banyak yang terjatuh dalam fitnah  dan kami tidak tahu apakah kami akan bertemu denganmu lagi atau tidak !, Kemudian Ibnu Mas'ud mengatakan :
" اتقوا الله واصبروا حتى يستريح بر أو يستراح من فاجر ، وعليكم بالجماعة فإن الله لا يجمع أمة محمد على ضلالة  "
"Bertakwalah kepada Allah hingga orang yang baik tenang (tidak terganggu) atau orang yang jahat diambil oleh Allah, dan tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan".

Sanad hadits ini sahih, dan hal semacam ini tidak mungkin dikatakan oleh Ibnu Mas'ud dari pendapat pribadinya, malainkan diambil dari Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam.  Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan jalur lain dari Nu'aym ibn Abi Hind bahwa Abu Mas'ud keluar meninggalkan Kufah, maka beliau mengatakan :
 "وعليكم بالجماعة فإن الله لم يكن ليجمع أمة محمد على ضلال "
"Dan tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat Muhammad di atas kesesatan".

            Ad-Darimi juga meriwayatkan dari 'Amr ibn Qays secara marfu' :
" نحن الآخرون ونحن السابقون يوم القيامة "وفي آخره : "وإن الله وعدني في أمتي وأجارهم من ثلاث : لا يعمهم بسنة ، ولا يستأصلهم عدو ، ولا يجمعهم على ضلالة ".
Maknanya : "Kami adalah ummat yang terakhir dan paling awal masuk surga di hari kiamat" , dan di akhir hadits ini : "Dan sesungguhnya Allah berjanji kepadaku untuk ummatku dan melindungi mereka dari tiga hal : tidak terkena kelaparan yang merata, tidak akan dihabisi oleh musuh dan tidak akan disatukan di atas kesesatan". (H.R. ad-Darimi)

            Al Imam Ahmad meriwayatkan dalam Musnad-nya dari Abu Dzarr secara marfu' bahwa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda:
" اثنان خيـر من واحد وثلاث خيـر من اثنين وأربعة خيـر من ثلاثة ، فعليكم بالجماعة فإن الله عز وجل لن يجمع أمتي إلا على هدى "
Maknanya : "Dua orang lebih selamat dari jika orang sendirian, tiga orang lebih baik dari dua orang dan empat orang lebih baik dari tiga, jadi tetaplah bersatu dengan al Jama'ah karena Allah tidak akan menyatukan ummat-ku kecuali di atas petunjuk dan  kebenaran".

            Kebenaran ijma' ini juga telah dijelaskan oleh sekian banyak ulama Ahlussunnah dan mereka menegaskan bahwa ijma' tidaklah khusus terjadi pada masa sahabat saja. Di antara para ulama tersebut adalah al Imam asy-Syafi'i, ath-Thahawi, as-Subki, az-Zarkasyi, al Khathib al Baghdadi, al Asfarayini, Ibnu Amiir al Hajj dan lain-lain.

            Bahkan telah dinukil dengan sahih bahwa al Imam Ahmad menukil ijma' dalam beberapa masalah sebagaimana dinyatakan oleh al Imam Ibnu al Mundzir, al Hafizh Ibn al Jawzi dan lainnya.
            Allah ta'ala berfirman :
 )ومن يشاقق الرسول من بعد ما تبين له الهدى ويتبع غيـر سبيل المؤمنين نوله ما تولى ونصله جهنم وساءت مصيـرا (  (سورة النساء : 115 )
Maknanya: “Dan barang siapa yang menentang Rasulullah setelah jelas baginya kebenaran dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang mukmin, maka kami biarkan ia leluasa dalam kesesatan yang ia kuasai itu (Allah biarkan mereka bergelimang dalam kesesatan) dan kami masukkan ia ke dalam neraka jahannam. Dan jahannam adalah seburuk-buruk tempat kembali (Q.S. an-Nisa: 115)

Al Qurthubi mengatakan dalam Tafsir-nya : "Para ulama' mengatakan tentang ayat ini : ayat ini adalah dalil kebenaran mengikuti ijma'". Ibnu Katsir mengatakan dalam Tafsir-nya: "Yang dijadikan referensi oleh al Imam asy-Syafi'i dalam berhujjah bahwa ijma'  adalah hujjah yang haram untuk disalahi adalah ayat ini, ini beliau temukan setelah merenung dan berfikir lama. Ini termasuk istinbath yang sangat bagus dan sangat kuat".


AYAT-AYAT MUHKAMAT DAN MUTASYABIHAT

   Untuk memahami tema ini sebagaimana mestinya, harus diketahui terlebih dahulu bahwa di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat muhkamat dan ayat-ayat mutasyabihat. Allah ta'ala berfirman :
 ] هُوَ الَّذِيْ أَنْزَلَ عَلَيْكَ الْكِتَابَ مِنْهُ ءَايَاتٌ مُحْكَمَاتٌ هُنَّ أُمُّ الْكِتَابِ وَأُخَرُ مُتَشَابِهَاتٌ فَـأَمَّا الَّذِيْنَ فِي قُلُوْبِهِمْ زَيْغٌ فَيَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ ابْتِـغَاءَ الْفِـتْنَةِ وَابْتِـغَاءَ تَأْوِيْلِهِ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ يَقُوْلُوْنَ ءَامَنَّا بِهِ كُلٌّ مِنْ عِنْدِ رَبِّنَا وَمَا يَذَّكَّرُ إِلاَّ أُوْلُوْا اْلأَلْبَابِ [   (ءال عمران : 7)

Maknanya : "Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur'an) kepada Muhammad. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat muhkamat, itulah Umm Al Qur'an (yang dikembalikan dan disesuaikan pemaknaan ayat-ayat al Qur'an dengannya) dan yang lain ayat-ayat mutasyabihat. Adapun orang-orang  yang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti ayat-ayat yang mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya sesuai dengan hawa nafsunya, padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya (seperti saat tibanya kiamat)  melainkan Allah serta orang-orang yang mendalam ilmunya mengatakan : "kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyabihat, semuanya itu berasal dari Tuhan kami". Dan tidak dapat mengambil pelajaran darinya kecuali orang-orang yang berakal"    (Q.S. Al Imran : 7)


a.  Ayat-ayat Muhkamat : ayat yang dari sisi kebahasaan memiliki satu makna saja dan tidak memungkinkan untuk ditakwil ke makna lain. Atau ayat yang diketahui dengan jelas makna dan maksudnya. Seperti firman Allah :
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)    
Maknanya: Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)                                                                      
﴿ وَلَمْ يَكُنْ لَهُ كُفُوًا أَحَدٌ ﴾ (سورة الإخلاص :4)
Maknanya: Dia (Allah) tidak ada satupun yang menyekutui-Nya”. (Q.S. al Ikhlash : 4)                                                                   
﴿ هَلْ تَعْلَمُ لَهُ سَمِيًّا ﴾ (سورة مريم :65)
Maknanya: Allah tidak ada serupa bagi-Nya”. (Q.S. Maryam : 65)                                                                  

b.  Ayat-ayat Mutasyabihat : ayat yang belum jelas maknanya. Atau yang memiliki banyak kemungkinan makna dan pemahaman sehingga perlu direnungkan agar diperoleh pemaknaan yang tepat yang sesuai dengan ayat-ayat muhkamat. Seperti firman Allah :

﴿ الرّحْمٰنُ  عَلَى العَرْشِ اسْتَوَى ﴾   (سورة طه :5)

﴿ إِلَيْهِ يَصْعَدُ الْكَلِمُ الطَّـيِّبُ وَالْعَمَلُ الصَّالِحُ يَرْفَعُهُ ﴾   (سورة فاطر :10)

Makna ayat kedua ini adalah bahwa dzikir seperti ucapan لا إله إلاّ الله   akan naik ke tempat yang dimuliakan oleh Allah, yaitu langit. Dzikir ini juga akan mengangkat amal saleh. Pemaknaan seperti ini sesuai dan selaras dengan ayat muhkamat   ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)      .
           
Jadi penafsiran terhadap ayat-ayat mutasyabihat harus dikembalikan kepada ayat-ayat muhkamat. Ini jika memang berkait dengan ayat-ayat mutasyabihat yang mungkin diketahui oleh para ulama. Sedangkan mutasyabih (hal yang tidak diketahui oleh kita) yang dimaksud dalam ayat
﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ (سورة ءال عمران : 7) 

Menurut bacaan waqaf pada lafzh al Jalalah الله adalah seperti saat kiamat tiba, waktu pasti munculnya Dajjal, dan bukan mutasyabih  yang seperti ayat tentang istiwa') Q.S. Thaha : 5). Dalam sebuah hadits Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam bersabda :

 " اعْمَلُوْا بِمُحْكَمِهِ وَءَامِنُوْا بِمُتَشَابِهِهِ" (حديث ضعيف ضعفا خفيفا)  
Maknanya: Amalkanlah ayat-ayat muhkamat yang ada dalam Al Qur'an dan  berimanlah terhadap  yang mutasyabihat dalam Al Qur'an". Artinya jangan mengingkari adanya ayat-ayat mutasyabihat ini melainkan percayai adanya dan kembalikan maknanya kepada ayat-ayat yang muhkamat. Hadits ini dla'if dengan kedla'ifan yang ringan.

            Seorang ahli hadits, pakar bahasa dan fiqh bermadzhab Hanafi, Murtadla az-Zabidi dalam syarh Ihya' 'Ulum ad-Din yang berjudul Ithaf as-Sadah al Muttaqin mengutip perkataan Abu Nashr al Qusyairi dalam kitab at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah :
"Sedang firman Allah : ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ (سورة ءال عمران : 7)   yang dimaksud adalah waktu tepatnya kiamat tiba, sebab orang-orang musyrik bertanya kepada Nabi shallallahu 'alayhi wasallam tentang kiamat kapan tiba. Jadi  mutasyabih    dalam konteks ini mengisyaratkan pada pengetahuan tentang hal-hal yang gaib karena memang tidak ada yang mengetahui peristiwa di masa mendatang dan  akhir semua hal  kecuali Allah. Karenanya Allah berfirman:                                                 ﴿ هَلْ يَنْظُرُوْنَ إِلاَّ تَأْوِيْلَهُ يَوْم       يَـأْتِي تَأْوِيْلُهُ ﴾ (الأعراف: 53)
maksudnya mereka tidak menunggu kecuali datangnya kiamat.

            Dengan demikian, bagaimana mungkin seseorang bisa mengatakan (berdalih ayat tersebut) bahwa terdapat dalam kitabullah hal yang tidak ada jalan bagi seorang makhlukpun untuk mengetahuinya serta tidak ada yang mengetahui hal ini kecuali Allah. Bukankah ini termasuk penghinaan terbesar terhadap misi-misi kenabian ?!. Bahwa Nabi tidak mengetahui takwil sifat-sifat Allah yang ada lalu mengajak orang untuk mengetahui hal yang tidak bisa diketahui ?!, bukankah Allah berfirman (tentang al Qur'an) :       
            ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ (سورة الشعراء : 195)
Maknanya : "Dengan bahasa Arab yang jelas"   (Q.S. asy-Syu'ara' : 195)
Berarti kalau menurut logika pendapat mereka ini maka mereka mesti mengatakan bahwa Allah telah berdusta karena mengatakan                      ﴿ بِلِسَانٍ عَرَبِـيٍّ مُبِيْنٍ ﴾ sebab mereka ternyata tidak memahaminya. Jika tidak, lalu di mana letak kebenaran penjelasan ini ?!. Dan jika memang al Qur'an ini berbahasa Arab lalu bagaimana bisa seseorang mengatakan bahwa di dalamnya ada yang tidak diketahui oleh orang Arab padahal al Qur'an berbahasa Arab. Jika demikian halnya apa sebutan yang patut  untuk pendapat yang berujung pada pendustaan terhadap Allah ini !?".

            Az-Zabidi selanjutnya mengatakan masih menukil dari al Qusyairi : "Bukankah ada pendapat yang mengatakan bahwa bacaan ayat (tentang takwil) tersebut adalah                    [  وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ وَالرَّاسِخُوْنَ فِي الْعِلْمِ ], seakan Allah menyatakan "orang yang mendalam ilmunya juga mengetahui takwilnya serta beriman kepadanya" karena beriman kepada sesuatu itu hanya dapat terwujud setelah mengetahui sesuatu itu, sedang sesuatu yang tidak diketahui tidak akan mungkin seseorang beriman kepadanya. Karenanya, Ibnu Abbas mengatakan : "Saya termasuk orang-orang yang mendalam ilmunya".

            ADA DUA METODE UNTUK MEMAKNAI AYAT-AYAT MUTASYABIHAT YANG KEDUANYA SAMA-SAMA BENAR :

            Pertama : Metode Salaf. Mereka adalah orng-orang yang hidup pada tiga abad hijriyah pertama. Yakni kebanyakan dari mereka mentakwil  ayat-ayat mutasyabihat secara global (takwil ijmali), yaitu dengan mengimaninya serta meyakini bahwa maknanya bukanlah sifat-sifat jism (sesuatu yang memiliki ukuran dan dimensi), tetapi memiliki makna yang layak bagi keagungan dan kemahasucian Allah tanpa menentukan apa makna tersebut. Mereka mengembalikan makna ayat-ayat mutasyabihat tersebut kepada ayat-ayat muhkamat seperti firman Allah :                                                     ﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)                              
Maknanya: Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)                                                                    
         Takwil ijmali ini adalah seperti yang dikatakan oleh imam asy-Syafi'i –semoga Allah meridlainya- :
" ءَامَنْتُ بِمَا جَاءَ عَنِ اللهِ عَلَى مُرَادِ اللهِ وَبِمَا جَاءَ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ r عَلَى مُرَادِ رَسُوْلِ اللهِ "
"Aku beriman dengan segala yang berasal dari Allah sesuai apa yang dimaksudkan Allah dan beriman dengan segala yang berasal dari Rasulullah r  sesuai dengan maksud Rasulullah", yakni bukan sesuai dengan yang terbayangkan oleh prasangka dan benak manusia yang merupakan sifat-sifat fisik dan benda (makhluk) yang tentunya mustahil bagi Allah.

            Selanjutnya, penafian bahwa ulama salaf mentakwil secara terperinci (takwil tafshili) seperti yang diduga oleh sebagian orang tidaklah benar. Terbukti bahwa dalam Shahih al Bukhari, kitab tafsir al Qur'an tertulis :
" سُوْرَةُ الْقَصَصِ ، كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ ، إِلاَّ مُلْكَهُ وَيُقَالَ مَا يُتَقَرَّبُ بِهِ إِلَيْهِ " اهـ.
"Surat al Qashash, كُلُّ شَىْءٍ هَالِكٌ إِلاَّ وَجْهَهُ  (Q.S. al Qashash : 88) yakni kecuali kekuasaan dan pengaturan-Nya terhadap makhluk-Nya atau amal yang dilakukan untuk mendekatkan diri kepada-Nya". Kekuasaan Allah adalah sifat Allah yang azali (tidak memiliki permulaan) , tidak seperti kekuasaan yang Ia berikan kepada makhluk-Nya. Dalam  Shahih al Bukhari juga masih terdapat takwil semacam ini di bagian yang lain seperti dlahik  yang terdapat dalam hadits ditakwilkan dengan rahmat-Nya yang khusus (ar-Rahmah al Khashshah).

            Terbukti dengan sahih pula bahwa imam Ahmad yang juga termasuk ulama salaf mentakwil firman Allah :                  [ رَبُّكَ ﴿ وَجَاءَ secara tafshili (terperinci), ia mengatakan : yakni datang kekuasan-Nya (tanda-tanda kekuasaan-Nya) ". Sanad perkataan imam Ahmad ini disahihkan oleh al Hafizh al Bayhaqi, seorang ahli hadits yang menurut al Hafizh Shalahuddin al 'Ala-i : "Setelah al Bayhaqi dan ad-Daraquthni, belum ada ahli hadits yang menyamai kapasitas keduanya atau mendekati kapasitas keduanya ". Komentar al Bayhaqi terhadap sanad tersebut ada dalam kitabnya Manaqib Ahmad. Sedang komentar al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i mengenai al Bayhaqi dan ad-Daraquthni  terdapat dalam bukunya al Wasyyu al Mu'lam. Al Hafizh Abu Sa'id al 'Ala-i sendiri menurut al Hafizh Ibnu Hajar : "Dia adalah guru dari para guru kami", beliau hidup pada abad VII Hijriyah.

            Banyak di antara para ulama yang menyebutkan dalam karya-karya mereka bahwa imam Ahmad mentakwil secara terperinci (tafshili), di antaranya al Hafizh Abdurrahman ibn al Jawzi yang merupakan salah seorang tokoh besar madzhab Hanbali. Disebut demikian karena beliau banyak mengetahui nash-nash (teks-teks induk) dalam madzhab Hanbali dan keadaan imam Ahmad.

            Abu Nashr al Qusyairi juga telah menjelaskan konsekwensi-konsekwensi buruk yang secara logis akan didapat oleh orang yang menolak takwil. Abu Nashr al Qusyairi adalah seorang ulama yang digelari oleh al Hafizh 'Abdurrazzaq ath-Thabsi sebagai imam dari para imam. Ini seperti dikutip oleh al Hafizh Ibnu 'Asakir dalam kitabnya Tabyin Kadzib al Muftari.

            Kedua : Metode Khalaf. Mereka mentakwil ayat-ayat mutasyabihat secara terperinci dengan menentukan makna-maknanya sesuai dengan penggunaan kata tersebut dalam bahasa Arab. Seperti halnya ulama Salaf, mereka tidak memahami ayat-ayat tersebut sesuai dengan zhahirnya. Metode ini bisa diambil dan diikuti, terutama ketika dikhawatirkan terjadi goncangan terhadap keyakinan orang awam demi untuk menjaga dan membentengi mereka dari tasybih (menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya). Sebagai contoh, firman Allah yang memaki Iblis :
﴿ مَا مَنَعَكَ أَنْ تَسْجُدَ لِمَا خَلَقْتُ بِيَدَيَّ ﴾ (سورة ص : 75)
Ayat ini boleh ditafsirkan bahwa yang dimaksud dengan al Yadayn adalah al 'Inayah (perhatian khusus) dan al Hifzh (pemeliharaan dan penjagaan).

------------------------

A.  TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA

﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى [

            Ayat ini wajib ditafsirkan dengan selain bersemayam, duduk dan semacamnya. Bahkan orang yang meyakini demikian hukumnya kafir. Berarti ayat ini tidak boleh diambil secara zhahirnya tetapi harus dipahami dengan makna yang tepat dan dapat diterima oleh akal. Bisa dikatakan bahwa makna lafazh istiwa' di sini adalah al Qahr, menundukkan dan menguasai. Dalam bahasa Arab dikatakan :
اسْتَوَى فُلاَنٌ عَلَى الْمَمَالِكِ
Jika dia berhasil menguasai kerajaan, memegang kendali segala urusan dan menundukkan orang, seperti dalam sebuah bait syair :
قَدْ اسْـتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ      مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَدَمٍ مِهْرَاقِ
"Bisyr telah menguasai Irak, tanpa senjata dan pertumpahan darah".

            Sedangkan faedah disebutkannya 'arsy secara khusus adalah bahwa 'arsy merupakan makhluk Allah yang paling besar bentuk dan ukurannya. Ini berarti tentunya makhluk-makhluk yang lebih kecil dari 'arsy termasuk di dalamnya. Imam Ali mengatakan :
"إِنَّ اللهَ خَلَقَ الْعَرْشَ إِظْهَارًا لِقُدْرَتِهِ وَلَمْ يَتَّخِذْهُ مَكَانًا لِذَاتِهِ"
 Sesungguhnya Allah menciptakan ’arsy (makhluk Allah yang paling besar) untuk menampakkan kekuasaan-Nya bukan untuk menjadikannya tempat bagi Dzat-Nya”.  Diriwayatkan oleh Abu Manshur at-Tamimi, seorang imam serta pakar hadits, fiqh dan bahasa dalam kitabnya  at-Tabshirah.

            Ayat ini juga boleh ditafsirkan bahwa "Allah memiliki sifat istiwa' yang diketahui oleh-Nya, disertai keyakinan bahwa Allah maha suci dari istiwa'-nya makhluk yang bermakna duduk, bersemayam dan semacamnya".

            Ketahuilah bahwa harus diwaspadai orang-orang yang menyandangkan sifat duduk dan bersemayam di atas 'arsy. Mereka menafsirkan firman Allah :    
﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى [
Dengan duduk atau berada di atas 'arsy dengan jarak. Mereka juga mengklaim bahwa tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa  tempat, ini adalah klaim yang bathil. Mereka mengklaim juga bahwa perkataan ulama salaf : Istawa bila kayf sesuai dengan apa yang mereka katakan. Mereka tidak mengerti bahwa kayf yang dinafikan oleh ulama salaf adalah duduk, bersemayam, berada di suatu tempat, berada di atas sesuatu dengan jarak dan semua sifat makhluk seperti bergerak, diam dan semacamnya.

            Al Qusyairi berkata : "argumen yang bisa mematahkan syubhah mereka adalah jika dikatakan : sebelum Allah menciptakan alam atau tempat, apakah Allah ada atau tidak ?! akal yang sehat akan menjawab : ya, Allah ada. Jika demikian halnya maka sekiranya perkataan mereka " tidak masuk akal adanya sesuatu tanpa  tempat" adalah benar, hanya ada dua pilihan : pertama, mereka akan mengatakan bahwa tempat, 'arsy dan alam adalah qadim (tidak memiliki permulaan) atau pilihan kedua, Tuhan itu baharu. Inilah ujung dari keyakinan golongan Hasyawiyyah yang bodoh itu, sungguh yang Qadim (Allah) tidaklah baharu (muhdats) dan yang baharu tidaklah qadim".

            Al Qusyairi juga mengatakan dalam at-Tadzkirah asy-Syarqiyyah : "Jika dikatakan : bukankah Allah berfirman                     [﴿ الرَّحْمٰنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
Maka harus diambil zhahir ayat ini. Kita menjawab : Allah juga berfirman
﴿وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ[ (سورة الحديد :4)    ﴿ أَلاَ إِنَّهُ بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ [  (سورة فصّلت :54)  
Jika kaedahnya seperti yang anda katakan berarti harus diambil juga zhahir kedua ayat ini dan itu berarti Allah berada di atas 'arsy, ada di antara kita, ada bersama kita serta meliputi dan mengelilingi alam dengan Dzat-Nya dalam saat yang sama. Padahal –kata al Qusyairi- dzat yang satu mustahil pada saat yang sama berada di semua tempat. Kemudian  –kata al Qusyairi- jika mereka mengatakan : firman Allah           ( وَهُوَ مَعَكُمْ ) yang dimaksud adalah dengan ilmu-Nya, dan  firman Allah ( بِكُلِّ شَىْءٍ مُحِيْطٌ )  maksudnya ilmu Allah meliputi segala sesuatu.  Maka kita katakan : jika demikian, maka                       ( عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى )  berarti qahara, hafizha dan abqa (menundukkan dan menguasai, memelihara dan menetapkannya)". Maksud al Qusyairi adalah jika mereka di sini mentakwil ayat-ayat Mutasyabihat semacam ini dan tidak memaknainya secara zhahirnya,  lalu mengapa mereka mencela orang yang mentakwil ayat  istiwa' dengan qahr, Ini adalah bukti bahwa mereka telah berpendapat tanpa disertai dengan dalil.

            Selanjutnya,  Al Qusyairi mengatakan : "Seandainya perkataan kami bahwa istawa berarti qahara  memberi persangkaan bahwa telah terjadi pertarungan dan awalnya Allah dikalahkan lalu pada akhirnya menundukkan dan mengalahkan lawan-Nya niscaya hal yang sama muncul dari persangkaan terhadap ayat  (سورة الأنعام : 18) ( وَهُوَ القَاهِرُ فَوْقَ عِبَادِهِ)
Sehingga akan dikatakan : Allah sebelum menciptakan hamba-Nya maqhur (dikalahkan), bukankah hamba seluruhnya tidak ada sebelum Allah menciptakan mereka. Justru sebaliknya (lebih parah) jika istiwa' tersebut adalah dengan dzat-Nya akan memberi persangkaan bahwa Allah berubah dari keadaan sebelumnya, yaitu bengkok sebelum istiwa' karena Allah ada sebelum 'arsy diciptakan. Orang yang obyektif akan mengetahui bahwa orang yang mengatakan :
               العرش بالربّ استوى
"'Arsy sempurna adanya dengan pengadaan-Nya"
Lebih tepat dari perkataan :  الربّ بالعرش استوى                             
Jadi Allah disifati dengan ketinggian derajat dan keagungan, maha suci dari berada di suatu tempat dan berada di atas sesuatu dengan jarak.

            Al Qusyairi berkata : "Telah muncul sekelompok orang bodoh, yang seandainya mereka tidak mendekati orang awam dengan keyakinan rusak seiring daya nalar mereka dan terbayangkan oleh benak mereka aku tidak akan mengotori lembaran-lembaran buku ini dengan menyebut mereka. Mereka mengatakan : Kita memahami ayat dengan mengambil zhahirnya, ayat-ayat yang memberi persangkaan bahwa Allah menyerupai makhluk-Nya atau memiliki bentuk dan ukuran serta anggota badan kita pahami secara zhahirnya. Tidak boleh melakukan takwil terhadap ayat-ayat tersebut. Menurut mereka, mereka berpegangan dengan firman Allah :                   ﴿ وَمَا يَعْلَمُ تَأْوِيْـلَهُ إِلاَّ اللهُ ﴾ . Demi Allah, mereka ini lebih berbahaya terhadap Islam daripada orang-orang Yahudi, Nashrani, Majusi dan penyembah berhala. Karena kesesatan orang-orang kafir ini jelas, diketahui dan dijauhi oleh semua ummat Islam. Sedangkan orang-orang yang disebut pertama tadi berpenampilan layaknya para ulama dan mengakses kepada orang awam dengan cara yang bisa menarik orang awam agar mengikuti mereka sehingga mereka menyebarkan bid'ah tasybih ini dan menanamkan pada mereka bahwa tuhan yang kita sembah ini memiliki anggota badan, mempunyai sifat naik, turun, bersandar, terlentang, istiwa' dengan dzat-Nya dan datang-pergi dari suatu tempat dan arah ke yang lain. Maka –lanjut al Qusyairi- barangsiapa tertipu oleh penampilan luar mereka akan mempercayai mereka dan membayangkan sesuatu yang dicerna dengan indra dan menyandang sifat-sifat makhluk diyakininya sebagai Allah. Dengan keyakinan semacam ini ia telah jauh tersesat tanpa dia sadari".

            Dari penjelasan di atas diketahui bahwa perkataan orang bahwa takwil tidak boleh adalah kebodohan dan ketidaktahuan terhadap yang benar. Perkataan ini terbantah dengan doa Rasulullah shallallahu 'alayhi wasallam untuk Ibnu Abbas :
" اَللّهُمَّ عَلِّمْهُ الْحِكْمَةَ وَتَأْوِيْلَ الْكِتَابِ" رواه البخاريّ وابن ماجه وغيرهما بألفاظ متعدّدة
Ya Allah, berilah ia pemahaman tentang agama dan ajarilah ia penafsiran al-Qur'an  (H.R. al Bukhari, Ibnu Majah dan lainnya dengan redaksi yang berbeda-beda)

            Al Hafizh Ibn al Jawzi dalam kitabnya Al Majalis berkata : "Tidak diragukan lagi bahwa Allah mengabulkan doa Rasulullah ini". Kemudian beliau mengingkari dengan sangat dan mencela dengan pedas orang yang menolak takwil dan menguraikan dengan panjang lebar hal ini. Bagi yang tertarik silahkan membacanya.
            Sedangkan firman Allah                                                          (سورة النحل : 50) ﴿ يَخَافُوْنَ رَبَّهُمْ مِنْ فَوْقِهِمْ ﴾  maknanya di atas mereka dengan kekuasaan-Nya, bukan dengan tempat dan arah, yakni bukan di atas mereka dari segi tempat dan arah. Firman Allah ((سورة الفجر : 22 ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا ﴾ datang yang dinisbatkan kepada Allah ini maknanya bukan datang dengan bergerak, berpindah, mengosongkan suatu tempat dan mengisi tempat yang lain dan kafir hukumnya orang yang meyakini semacam ini bagi Allah. Karena Allah ta'ala yang menciptakan sifat bergerak, diam dan semua sifat makhluk, maka Allah tidak disifati dengan bergerak dan diam. Jadi yang dimaksud dengan ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ adalah datang sesuatu dari Tuhanmu, yakni salah satu tanda kekuasaan-Nya. Inilah takwil yang dikemukakan oleh Imam Ahmad. Diriwayatkan dengan sanad yang sahih bahwa beliau berkata tentang ayat tersebut  ﴿ وَجَاءَ رَبُّكَ ﴾ : yang datang adalah (tanda) kekuasaan-Nya. Takwil ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dalam Manaqib Ahmad seperti yang sudah pernah disinggung.


B.   TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA

﴿ مِنْ رُوْحِنَا ﴾   ﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾

            Hendaklah diketahui bahwa Allah subhanahu wata'ala adalah pencipta roh dan jasad, berarti Ia bukan roh dan bukan jasad. Maka ketika Allah menisbatkan roh Isa kepada dzat-Nya, yang dimaksud adalah Allah memiliki roh Nabi Isa dan memuliakannya. Ini sama sekali tidak berarti bahwa Nabi Isa adalah bagian dari dzat-Nya (al Juz-iyyah). Hal ini terdapat dalam firman Allah :   (سورة الأنبياء : 91)  ﴿ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ . Dengan makna yang sama Allah berfirman tentang Nabi Adam alayhissalam :  
 (سورة ص : 72)  ﴿ مِنْ رُوْحِـيْ ﴾ .
           
Jadi makna firman Allah :     ﴿ فَنَفَخْنَا فِيْهِ مِنْ رُوْحِنَا ﴾ (سورة التحريم : 12)   adalah : "kami memerintahkan pada Jibril  alayhissalam  untuk meniupkan ke dalam Maryam roh yang merupakan milik kami dan mulia menurut kami". Karena roh itu terbagi menjadi dua : roh yang dimuliakan dan roh yang jahat. Roh para nabi termasuk dalam kategori pertama. Karenanya penyandaran (idlafah) roh nabi Isa dan roh nabi Adam kepada Allah adalah penyandaran yang berarti kepemilikan dan pemuliaan Allah terhadap keduanya. Hukum orang yang meyakini bahwa Allah ta'ala adalah roh adalah dikafirkan karena roh adalah makhluk dan Allah maha suci dari menyerupai makhluk.

            Begitu pula firman Allah mengenai ka'bah :                 (سورة الحجّ : 26)  ﴿ بَيْـتِيَ ﴾ , ini juga penyandaran (idlafah) yang berarti kepemilikan dan pemuliaan Allah terhadap ka'bah, bukan menunjukkan bahwa bayt adalah sifat Allah atau tempat bagi Allah karena persinggungan dan bersentuhan antara Allah dan ka'bah adalah mustahil bagi-Nya.

            Demikian juga firman Allah :                                          (سورة المؤمنون : 116)  ﴿ رَبُّ العَرْشِ ﴾ hanyalah menunjukkan bahwa Allah pencipta 'arsy, makhluk Allah yang terbesar ukurannya. Penyandaran ini tidak berarti ada kaitan antara Allah dengan 'arsy bahwa Allah duduk di atasnya atau berada di atasnya dengan jarak. Jadi maknanya bukan bahwa Allah duduk di atas 'arsy dengan menempel, juga bukan berarti Allah berada di atasnya dengan berjarak ruang kosong yang luas atau sempit. Ini semua mustahil bagi Allah. 'Arsy disandarkan kepada Allah karena beberapa keistimewaannya. Di antaranya bahwa 'arsy adalah kiblat para malaikat yang mengelilinginya sebagaimana ka'bah menjadi mulia karena orang-orang mukmin berthawaf mengelilinginya. Di antara keistimewaan 'arsy pula bahwa 'arsy tidak pernah dikotori dengan perbuatan maksiat terhadap Allah karena yang berada di sekelilingnya adalah para malaikat yang mulia, yang tidak pernah berbuat maksiat terhadap Allah sekejappun. Jadi orang yang meyakini bahwa Allah menciptakan 'arsy untuk Ia duduki telah menyerupakan Allah dengan para raja yang membuat ranjang-ranjang besar untuk mereka duduki, dan yang meyakini ini berarti dia belum mengenal Allah. Juga dihukumi kafir orang yang meyakini Allah bersentuhan dengan sesuatu karena hal ini mustahil berlaku bagi Allah.


C.   TAFSIR AL MA'IYYAH  BAGI  ALLAH TA'ALA
DI DALAM AL QUR'AN

            Makna firman Allah :
) وهو معكم أين ما كنتم (   (سورة الحديد :4)  
 al ma'iyyah di sini berarti bahwa Allah ilmunya meliputi di manapun seseorang berada. Kadang al ma'iyyah berarti juga pertolongan dan perlindungan Allah seperti dalam ayat
  ﴿ إِنَّ اللهَ مَعَ الَّذِيْنَ اتَّقَوْا [ (سورة النحل :128)
Al ma'iyyah  yang dimaksud dalam ayat-ayat tersebut bukanlah bahwa Allah menempati makhluk-Nya atau menempel. Orang yang meyakini demikian hukumnya kafir karena Allah ta'ala maha suci dari menempel dan berpisah dengan jarak. Karenanya, tidak boleh dikatakan : Allah bersatu atau menempel dengan alam atau berpisah dari alam dengan jarak. Sebab semua ini adalah sifat benda, benda yang bisa disifati dengan menempel dan berpisah. Sedangkan Allah bukan sesuatu yang baharu (makhluk) sebagaimana firman Allah  
 
﴿ لَيْسَ كَمِثْلِهِ  شَىءٌ ﴾ (سورة الشورى: ۱۱)                              
Maknanya: “Dia (Allah) tidak menyerupai sesuatupun dari makhluk-Nya (baik dari satu segi maupun semua segi, dan tidak ada sesuatupun yang menyerupai-Nya)”. (Q.S. asy-Syura: 11)         

          Allah tidak disifati dengan memiliki bentuk dan ukuran besar atau kecil, panjang atau pendek karena Dia berbeda dengan makhluk-Nya. Demikian pula setiap pikiran atau bayangan yang menyandarkan bentuk dan ukuran kepada Allah harus diusir dan dihilangkan dari benak. Jadi ketika kita mengucapkan : Allahu Akbar maknanya adalah bahwa Allah lebih besar dari segi keagungan, derajat, kekuasaan dan kemahatahuan bukan dari segi panjang dan keluasan bentuk dan ukuran. Ini yang dimaksud oleh ulama salaf ketika menyikapi ayat-ayat mutasyabihat dengan mengatakan :
"أَمِرُّوْهَا كَمَا جَاءَتْ بِلاَ كَيْفِيَّةٍ".
"  Bacalah ayat-ayat tersebut sebagaimana bunyinya tanpa menyifati Allah dengan sifat-sifat makhluk"

Jadi bukan maksudnya bahwa Allah memiliki kaifiyyat tetapi kita tidak mengetahuinya. Dengan demikian tidaklah sesuai dengan ulama salaf orang yang menyatakan berdasarkan pernyataan di atas bahwa istiwa'-nya Allah di atas 'arsy adalah duduk tetapi tidak diketahui bagaimana bentuk duduk-Nya tersebut.

            Dahulu, orang-orang Yahudi menyandangkan lelah kepada Allah. Mereka mengatakan : setelah menciptakan langit dan bumi Allah beristirahat dan  terlentang. Perkataan mereka ini jelas kekufurannya. Allah maha suci dari ini semua. Ia juga maha suci dari infi'al seperti merasakan kelelahan, sakit dan merasa enak. Karena yang mengalami keadaan-keadaan semacam ini pastilah makhluk yang selalu mengalami perubahan dan ini mustahil bagi Allah. Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَلَقَدْ خَلَقْنَا السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَمَا بَيْنَهُمَا فِي سِتَّةِ أَيَّامٍ وَمَا مَسَّنَا مِنْ لُغُوْبٍ ﴾ (سورة ق : 38)
Maknanya : "Kami (Allah) menciptakan langit dan bumi dan yang berada di antara keduanya, dan tidaklah sekali-kali kami mengalami kelelahan" (Q.S. Qaf: 38)

Yang akan merasa kelelahan adalah orang yang melakukan perbuatannya dengan anggota badan, sedangkan Allah maha suci dari memiliki anggota badan.

            Allah ta'ala berfirman :
﴿ إِنَّ اللهَ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ﴾ (سورة غافر : 20)
Maknanya : "Sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat" (Q.S. Ghafir : 20)
Allah ta'ala mendengar dan melihat bukan seperti melihat dan mendengarnya makhluk. Jadi mendengar dan melihatnya Allah ada dua sifat-Nya yang azali yang bukan merupakan anggota badan, artinya bukan dengan telinga atau kelopak mata, kategori dekat , jauh atau berhubungan dengan arah, tanpa munculnya cahaya dari mata atau berhembusnya udara.

            Barang siapa mengatakan Allah memiliki telinga maka ia telah kafir, meskipun dia mengatakan Allah memiliki telinga tetapi tidak seperti telinga kita. Ini berbeda dengan orang yang mengatakan : Allah memiliki 'ayn tetapi tidak seperti mata kita, yad tidak seperti tangan kita, melainkan sebagai sifat-Nya. Yang terakhir ini boleh dikatakan karena lafazh 'ayn dan yad memang terdapat dalam al Qur'an sedangkan lafazh udzun (telinga) tidak pernah disandangkan bagi Allah dalam teks agama.



D.   TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA

﴿ فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [


            Allah ta'ala berfirman :
﴿ وَِللهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوْا فَثَمَّ وَجْهُ اللهِ [  (سورة البقرة : 115)
Makna ayat ini adalah bahwa kemanapun kalian menghadapkan muka kalian pada shalat sunnah di perjalanan maka di sanalah kiblat Allah. Yakni Arah yang kalian menghadapkan muka kepadanya adalah kiblat kalian. Maksud wajh di sini bukanlah anggota badan muka.

            Orang yang meyakini bahwa Allah memiliki anggota badan jelas dikafirkan. Karena seandainya Allah mempunyai anggota badan berarti dia serupa dengan kita, bisa berlaku bagi-Nya hal yang berlaku bagi kita seperti fana' (kepunahan dan kebinasaan).

            Terkadang maksud dari wajh adalah melaksanakan sesuatu untuk mendekatkan diri kepada Allah. Sebagai contoh ketika orang mengatakan : saya melakukan perbuatan ini karena wajh  Allah, maka maksudnya adalah bahwa aku melakukannya karena melaksanakan perintah Allah.

            Haram hukumnya mengatakan seperti orang-orang bodoh katakan : "Bukalah jendela itu supaya kita dapat melihat muka Allah". Ini dikarenakan Allah ta'ala berfirman kepada nabi Musa 'alayhissalam :
﴿ لَنْ تَرَانِـيْ [ (سورة الأعراف : 143)
Maknanya : "Engkau tidak akan pernah melihat-Ku (dengan mata di dunia ini)"  (Q.S. al A'raf : 143)
Meskipun maksud orang yang mengatakan perkataan tersebut bukan melihat Allah tetap dihukumi haram mengatakannya.



E.   TAFSIR FIRMAN ALLAH TA'ALA

﴿ اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ [


            Firman Allah :     (سورة النور : 35)  ( اللهُ نُوْرُ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ )   maknanya adalah bahwa Allah ta'ala Pemberi petunjuk langit dan bumi kepada cahaya keimanan. Penafsiran ini diriwayatkan oleh al Bayhaqi dari Abdullah ibn 'Abbas. Jadi Allah bukanlah Nur dalam arti cahaya karena Ia yang menciptakan cahaya. Allah ta'ala berfirman :
     )وَجَعَلَ الظلمات والنور (   (سورة الأنعام : 1)
Maknanya : "dan Ia menciptakan kegelapan dan cahaya"   (Q.S. al An'am : 1)
Jadi Allah yang menciptakan kegelapan dan cahaya, bagaimana mungkin ia adalah cahaya seperti halnya makhluk-Nya ?!, maha suci Allah dari hal ini.

            Hukum orang yang meyakini bahwa Allah adalah cahaya adalah dikafirkan. Ayat pertama surat al An'am tersebut yang berbunyi :
 )  اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضَ وَجَعَلَ الظُّلُمَاتِ وَالنُّوْرَ(  (سورة الأنعام : 1)
adalah dalil paling jelas yang menegaskan bahwa Allah bukan jism (sesuatu yang memiliki bentuk dan ukuran) katsif (yang bisa dipegang dengan tangan) seperti langit dan bumi  dan bukan jism lathif (yang tidak bisa dipegang dengan tangan) seperti kegelapan dan cahaya. Maka barang siapa meyakini bahwa Allah adalah benda katsif atau lathif  berarti ia telah menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya. Ayat ini adalah dalil yang menunjukkan kepada hal itu. Kebanyakan kalangan Musyabbihah (golongan yang menyerupakan Allah dengan makhluk-Nya) meyakini bahwa Allah adalah benda katsif . Sebagian dari mereka meyakini bahwa Allah adalah benda lathif seperti perkataan mereka bahwa Allah adalah cahaya yang gemerlapan. Ayat ini saja cukup sebagai bantahan terhadap kedua kelompok Musyabbihah tersebut.

            Dan masih banyak lagi keyakinan-keyakinan kufur yang lain seperti keyakinan sebagian orang bahwa Allah ta'ala memiliki warna atau bentuk. Karenanya seseorang hendaklah menjauhi keyakinan-keyakinan tersebut sekuat tenaga dan bagaimanapun keadaannya. 


 ***